Mendiknas: UN Batal Sama Dengan Kembali ke 1972

Jakarta, Kominfo Newsroom -- Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh menegaskan, Ujian Nasional (UN) Tahun Pelajaran 2009/2010 akan tetap dilaksanakan dan berjalan, karena Indonesia tidak ingin kembali ke sistem ujian pada tahun 1972.
Hal tersebut disampaikan Nuh usai membuka Seminar Nasional Pembudayaan Kegemaran Membaca Tahun 2009 di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Senin (14/12).
Pada kesempatan tersebut Mendiknas menjelaskan sejarah mengenai UN, di mana sebelum Indonesia merdeka sampai dengan tahun 1972, ada satu ujian secara nasional yang diselengarakan oleh negara, yakni Ujian Negara.
Menurut nya, saat dilaksanakan Ujian Negara tersebut, tingkat kelulusan siswa/siswi tersebut sangat kecil, yakni antara 30 hingga 40 persen.
Karena jumlah siswa/siswi yang tidak lulus pada saat Ujian Negara dilaksanakan cukup besar, membuat kesempatan orang untuk bersekolah menjadi terbatas.
''Mel ihat kondisi itu, pemerintah saat itu kemudian membuat kebijakan baru melalui ujian sekolah, yaitu kelulusannya diserahkan kepada sekolah,'' katanya.
Sejala n dengan itu, Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang diberlakukan pada tahun 1969, di mana salah satu programnya adalah dengan menaikkan angka partisipasi kasar (APK).
''APK ini diberlakukan untuk mendorong anak-anak supaya bisa melanjutkan sekolah. Oleh karena itu dibangun SD Inpres yakni SD yang didasarkan atas Instruksi Presiden supaya semua anak Indonesia bisa masuk ke sekolah,'' ujarnya.
Lebih lanjut Nuh menambahkan, dengan diberlakukannya APK tersebut selama 20 tahun, membuat siswa/siswi lulus semua. ''100 persen semuanya lulus. Oleh karena itu muncul yang namanya Ebtanas,'' jelasnya.
Ebtan as dikatakannya adalah kombinasi antara Ujian Negara dengan Ujian Sekolah di mana pada Ebtanas nilai siswa ditentukan dengan menggunakan rumus PQR, yaitu gabungan dari nilai rapor, ujian sekolah, dan ujian nasional.
''Has ilnya ternyata ujian yang diselenggarakan oleh nasional tadi itu dengan ujian yang diselenggarakan oleh sekolah ada gap yang luar biasa, dan akibatnya juga lulus semua,'' katanya.
Dia mencontohkan, pada mata pelajaran yang sama seorang siswa yang diuji secara nasional hanya mendapatkan nilai tiga, sementara di ujian sekolah mendapatkan nilai delapan.
''Jadi tadi itu adalah kombinasi Ujian Negara ditambah dengan ujian sekolah. Nah sekarang ini mata pelajarannya tertentu saja yang diuji oleh negara, yang lain sekolah yang menentukan,'' katanya.
Jadi, menurutnya, apa yang diperdebatkan oleh orang-orang sekarang ini akan diserahkan kembali kepada sekolah yang telah dilakukan pada tahun 1972 dulu.
''Hasilny a jeblok, lulus semua. Muncul lah yang namanya 'seratus persenisasi'. Lho kok sekarang mau ditarik lagi. Ini berarti kembali ke (tahun) 1972 yang lalu,'' tandasnya.
Kepa da peserta didik, Mendiknas mengimbau untuk siap menghadapi ujian dan tidak terjebak pada perbedaan-perbedaan pendapat.
''Ora ng yang paling baik adalah orang yang paling siap. Oleh karena itu, tugas utama guru mengajar, tugas utama murid adalah belajar. Kalau kita sudah siap, diuji oleh siapapun tidak ada masalah,'' katanya.
Mendik nas juga mendorong supaya siswa/siswi tahan banting dan mempunyai semangat yang tinggi. ''Bagi saya tidak perlu dipertentangkan antara apakah itu pemetaan dan kelulusan,'' tandasnya.
Terk ait adanya usul untuk menjadikan UN hanya sebagai standar, Mendiknas mengatakan, kalau hanya dijadikan standar tidak melekat pada nilai itu pada orang per orang maka bisa menjadi bias lagi.
''Saudara ujian negara, tapi tidak saya pakai untuk menentukan kelulusan. Maka Saudara akan menjawab, sembarangan, ya kan? Wong tidak menentukan, jadi tidak ada apa-apanya. Berarti akan ada bias lagi,'' katanya.
''Kena pa harus dikontroversikan? Sekarang kan jauh lebih baik? Selain bisa menentukan (kelulusan), juga digunakan untuk standar,'' kata Muhammad Nuh.

ads

Ditulis Oleh : SMK Islam Donomulyo Hari: 08.57 Kategori: